Tak terasa pembelajaran daring dikarenakan pandemi sudah berjalan 8 bulan. Pro-kontra pun muncul seiring waktu berjalan. Sebagai orang tua mungkin merasa keberatan. Karena bertambah kerepotannya dalam mendampingi putra-putrinya belajar di rumah. Apalagi jika anaknya lebih dari satu, sementara fasilitas handphone terbatas. Belum lagi jika orang tua harus bekerja atau gaptek, maka pendampingan pembelajaran anak-anak menjadi tidak optimal. Di sisi lain tugas guru pun juga bertambah berat, ibaratnya mereka bekerja dua kali. Harus membuat konten pembelajaran melalui berbagai media on line dalam penyampaian materi. Tentu sangat berbeda dengan pembelajaran tatap muka yang sifatnya langsung. Di sini kreatifitas guru pun diuji, mampukah ia menyampaikan materi yang menarik, tetapi mudah diterima siswa. Tidak luput siswa pun juga terkena dampaknya, biasanya mereka semangat belajar karena ada teman-temanya di sekolah, sekarang harus belajar sendiri di rumah dengan suasana yang berbeda. Konon aura di rumah bukan aura belajar tapi bermain.
Jika orang tua maupun guru ditanya, apakah pembelajaran daring ini merepotkan. Saya yakin, serempak mereka akan menjawab ya. Orang tua dan guru sama-sama repotnya. Apalagi orang tua yang juga berprofesi sebagai guru. Akan tetapi saat ini kita tidak berada dalam posisi bisa memilih. Pembelajaran daring adalah solusi terbaik dalam masa pandemi ini, setidaknya meminimalisir penyebaran virus corona yang sangat mungkin terjadi dalam pembelajaran langsung.
Selama ini banyak orangtua menganggap sama antara pendidikan (tarbiyah), penanaman adab (ta’dib), pengajaran (ta’lim) dan persekolahan (tadris). Padahal ketiganya sangat berbeda. Tarbiyah itu merawat dan menumbuhkan fitrah anak, Ta’dib itu memuliakan atau menanamkan adab dalam diri anak, sedangkan Ta’lim itu mengajarkan Ilmu (Kitab dan Hikmah). Urutannya tentu Tarbiyah dan Ta’dib, baru kemudian Ta’lim. Dalam bahasan alQuran disebut Tazkiyah sebelum Ta’lim (QS 62:2), atau Fitrah dan Adab sebelum Ilmu. Sejatinya Fitrah, Adab dan Ilmu itu amanah orangtua. Lembaga pendidikan semisal sekolah hanya melanjutkan dan menuntaskan Adab dan Ilmu yang telah disampaikan di rumah.
Pendidikan anak sejatinya adalah tugas orang tua, meskipun tanpa bekal ilmu pedagogi pun orang tua sebenarnya bisa. Fitrah keayah-bundaan sudah otomatis ada dalam diri setiap orang tua, hanya saja digunakan atau tidak. Modal utama mendidik anak-anak, dalam konteks ini mendampimgi belajar/fungsi taklim dan tadris adalah, sabar dan mau belajar. Mau tidak mau orang tua harus bersedia meng-upgrade dirinya agar bisa mendampingi ananda belajar. Jadi masa pandemi ini sebenarnya adalah momentum yang tepat bagi penguatan peran orang tua dalam pendidikan anak-anak.
Meskipun demikian memang diperlukan penyesuaian kurikulum dan metode pembelajaran. Tentu di masa pandemi tidak bisa dituntut idealis sebagaimana di masa normal. Kondisinya jauh berbeda. Karena anak lebih banyak menghabiskan waktu di rumah, maka pembelajaran bisa dialihkan kepada materi-materi terkait life skill. Penilaian tidak lagi melulu harus berbentuk angka, bisa menggunakan observasi maupun portofolio kegiatan anak-anak di rumah. Nah di sini perlu kiranya dilibatkan peran orang tua dalam menilai putra-putrinya, sebab orang tua adalah observator yang paling awas. Tidak perlu membandingkan satu anak dengan yang lain, tapi ukur dengan kemampuan mereka sebelumnya. Misalkan bulan lalu baru bisa berhitung 1 sampai 5, ternyata bulan ini sudah bisa berhitung 1 sampai 10. Nah itu adalah prestasi tersendiri, setiap anak unik, setiap anak pintar. Akhir pena, semoga kerepotan ayah-bunda dalam mendampingi ananda di masa pandemi ini berbuah pahala dan ilmu yang berkah bagi ananda. Dan kita berdoa bersama-sama agar pandemi lekas berlalu sehingga ananda bisa belajar bersama kembali di sekolah.
Nurhayati, S.Pd.I (SOBAT SDIT Alif Smart Surakarta)
Comments